Pengamen yang Ngambek

 

Saya mau share pengalaman yang agak unik saat saya menumpang bus dari Jakarta menuju Bekasi.  Keberadaan pengamen di bus-bus  kota memang tidak bisa dihindari. Ibarat dimana ada bus, penumpang, maka pengamen akan langsung nyelinap naik untuk memamerkan kemampuan mereka dalam bernyanyi dan mendapatkan recehan demi recehan pastinya.

Saya agak tidak setuju sebenarnya mengenai keberadaan pengamen di Bus-bus kota. Keberadaan mereka kadang membuat masyarakat “dipaksa” untuk mendengarkan musik/ lagu yang sedang tidak ingin di dengar. Jadi mau tidak mau penumpang bus harus mendengar lagu yang mereka nyanyikan. Di satu sisi,  saya juga bingung dimana lagi tempat mereka untuk mencari receh demi receh dengan modal suara dan alat musik yang seadanya.  Kalau cafe atau restoran-restoran tertentu tentunya punya standar tersendiri dalam menyediakan penyanyi untuk menghibur pelanggan mereka.

Nah, balik lagi mengenai masalah pengamen ngambek ini. Saya ingat seorang pengamen laki-laki masuk ke bus dari depan daerah semanggi. Pengamen tersebut memberi kata-kata pembuka sebelum menyanyikan lagu-lagu andalannya. Dia berdiri tepat di pertengahan gang bus, agar semua penumpang dapat mendengar suaranya. Di posisi tenggah, tepat di hadapan pengamen ini duduk tiga orang gadis (seperti anak kuliah yang baru pulang) yang sedang seru-serunya bercerita.

pengamen 2

Image source : http://s27.postimg.org/kzwnt56tv/ogxgkz.jpg

Pengamen ini mulai menyanyikan lagu dalam berbahasa Indonesia. Menurut saya suaranya juga lumayan bagus. Seiring perjalanan dan sudah masuk daerah tol, suara pengamen ini masih setia menemani perjalanan penumpang dari Jakarta-Bekasi.  Di dalam Bus penumpangnya cukup banyak, namun tidak berisik. Tetap yang masih terdengar hanya beberapa perbincangan antara tiga anak kuliahan tersebut berpadu dengan suara pengamen tersebut.

Menjelang mendekati Jati Bening, pengamen tersebut menghentikan lagunya sambil memarahi ketiga anak kuliahan tersebut. Inti dari kalimatnya yang saya tangkap seperti ini “ Mbak, dari tadi saya lihat kalian berisik sekali. Nggak menghargai saya yang sedang menyanyi. Suara kalian mengganggu penumpang yang lain. Mikir dong kalian, saya sedang cari nafkah di sini. Kalau tidak mau dengar ya sudah, sayapun tidak akan meminta uang kalian kok “ (versi diperhalus).

Pengamen tersebut duduk ke belakang dan memang tidak meminta sepeserpun kepada penumpang. Namun yang menjengkelkan saya, pengamen tersebut duduk di belakang sambil tetap bercerita dengan suara yang keras betapa kecewanya dia dengan orang yang tidak menghargai orang lain, betapa jeleknya sifat tiga orang anak kuliahan tersebut.

Saya bingung dalam kasus ini sebenarnya yang salah siapa ya? Pertama-tama di dalam bus jelas-jelas ada peraturan pengamen dan tukang jualan dilarang naik demi kenyamanan penumpang. Di satu sisi tiga orang gadis tersebut adalah penumpang yang punya hak sebebas-bebasnya untuk bercerita dengan teman-temannya. Masalah berisik atau berisik mereka bercerita satu sama lain tergantung pendapat masing-masing penumpang. Menurut saya tingkat keberisikannya masih dalam tahap wajar kok.

Begitulah cerita pengamen yang ngambek, lelah di sore hari membuat emosinya tinggi, uangpun tidak jadi didapat, semoga di bus berikutnya pengamen ini mendapat rejeki yang melimpah ya… 🙂